loader

Burung Samolanga

Jauh di selatan bumi, sekawanan burung menari, bernyanyi, mengepakkan sayap menerjang langit, bertingkah di putihnya awan, meluncur dalam pelukan angin, terkadang berbaris membentuk formasi dalam bingkai siluet hitam dan latar jingga di ujung senja. Saat gulita melahap setiap cahaya, burung-burung meluruh ke permukaan bumi, bersembunyi diantara gerai daun yang rimbun, diantara ladang gandum dan padi yang mulai meninggi, diantara gedung-gedung tua yang sepi.

Samolanga terpisah dari kawanan burung lainnya, bagai elang yang terbang sendiri, Samolanga tak pernah sembunyi meski setiap pemburu mengintai, meski Samolanga tahu tak ada kawanan yang melindungi. Pada silam yang lindap, suatu malam gulita ditengah badai dan guntur, Samolanga dipaksa jauh meninggalkan sarangnya oleh para pemburu, orang-orang yang bernafsu atas dunia, yang berambisi atas sanjungan, pemburu yang haus akan kekaguman manusia. Mereka mengejar Samolanga, menembaki, menginginkan agar burung itu dapat dipajang di rumahnya, memamerkan pada setiap rekan sebangsanya, betapa hebat kemampuan berburunya. Betapa dia pantas menyematkan lencana-lencana di pundak dan dadanya.

Burung yang meski tubuhnya tak sebesar elang, namun ototnya jelas lebih kuat, paruhnya lebih tajam serta jarak pandangnya berkali lipat lebih luas, burung yang bulunya seolah menggabungkan keindahan merak dan cendrawasih itu terbang menjauh dengan ketenangan yang misterius. Kepakan sayapnya terdengar syahdu memecah keheningan malam, menyisipkan kekaguman tak dapat ditolak pada mereka yang ingin membunuhnya. Bertambah mendidih darah para pemburu, berjingkat keranjingan seperti dirasuki roh jahat yang hidup disekitar para penyihir bangsa Gipsi.

Saat melihat Samolanga terbang melintasi pinus dan hutan bidara, kawan-kawan burung menatap malang bercampur cemas dari balik sarang dan daun-daun lebat. Adakah malam ini terakhir kalinya mereka bisa melihat keindahan surgawi yang menyelimuti burung Samolanga? Burung yang dari kicauannya terdengar sajak-sajak cinta, syair-syair perjuangan, dan puisi-puisi harapan. Adakah ini menjadi saat terakhir mereka dapat melihat bulu yang lebih lembut dari sutra-sutra Gujarat dan Persi, burung yang kilau warnanya membuat pelangi tak lagi tampak istimewa?

Para pemburu tiba di sebuah bukit yang amat sunyi, melihat burung Samolanga seperti memilih ditempat mana ia ingin mengakhiri pertarungan antara kerinduan akan kehidupan dan kerinduan pada kematian. Memilih ditempat mana ia hanya sendiri berhadapan dengan senjata-senjata mematikan milik para pemburu, sehingga burung-burung lain tak terkena dampaknya, di tempat dimana desingan timah panas dan suara-suara dalam bahasa penyiksaan tak terdengar oleh mahluk-mahluk selain dirinya, sehingga kebencian tak merebak, menyebar, menular, menginfeksi diantara mahluk yang hidup setelahnya.

Sekian senjata pemusnah dilepaskan, teriakan-teriakan penuh nafsu penghancuran meluncur sama cepatnya dengan peluru-peluru yang berlari menuju sasaran. Kata demi kata penuh arogan, seakan ditangannya lah nyawa dapat ditiadakan, ditangannya tubuh dapat dilenyapkan, ditangannya mahluk selain dirinya harus tunduk dalam genggaman, semua kata-kata seperti nyanyian setan yang diiringi irama dari dentuman-dentuman tembakan masih terus bergema.

Sang burung tak terlihat diantara pekat asap berbau mesiu. Lalu saat angin menyibak kumpulan asap itu, para pemburu mendapati sebentuk burung mati terbakar yang wujudnya tak dapat lagi dikenali. Sebagian besar diantara mereka ragu bahwa itu Samolanga yang perkasa, tapi tetua pemburu tidak ingin merasakan kekecewaan, dia meyakinkan kepada para pemburu lain, bahkan juga kelak kepada orang-orang bahwa dirinya telah membunuh Samolanga. Dia mendapat pujian, kekaguman, gelar pahlawan, lencana-lencana, dan juga karma.

***

Sebagian burung mengira bahwa Samolanga telah kembali ke sarang keabadian, sebuah sarang di pohon Firdaus, pohon yang menumbuhkan buah quldi. Pohon yang di masa lalu menyebabkan Adam dihukum keluar dari surga sehingga manusia bertebaran di muka bumi. Sebagian burung lain yakin Samolanga belumlah kembali ke sarang keabadian. Samolanga pastilah bersarang diantara pohon-pohon yang ada di dunia ini. Entah dimana.

Mungkin dia ada di pohon ‘alam dari desa Dzi Salam yang dirindukan, seperti tersirat dalam lantunan syair Imam Bushairi. Atau pohon neem di India selatan yang dipercaya sebagai obat segala penyakit. Atau mungkin di pohon apel newton, di Lincolnshire tempat Isaac Newton menemukan sebuah ilmu yang penting bagi umat manusia. Atau dia bersarang di pohon budhi, tempat Sidharta mencapai kedamaian batinnya dan menjadi seorang Budha. Atau pada pohon baobab di Derby yang menjadi tempat wisata kelam yang menunjukkan kemenangan kolonial atas orang-orang pribumi. Atau Samolanga berada di bawah pohon baiat ridwan tempat sahabat-sahabat Nabi bersumpah setia untuk membela perjuangan Muhammad Sang Nabi.

Seekor burung pipit kembali melihat Samolanga terbang setelah lebih dari setengah abad tak diketahui rimbanya, ia terlihat bersarang di sebuah pohon myrtaceae atau dikenal dengan nama pohon duwet, yang tumbuh di hamparan tanah perdikan. Desa kecil yang jauh dari peradaban. Jalanan berbatu, tanah berkerak kala musim panas, serta genangan air banjir tiap musim hujan turun. Sebuah daerah yang telah dikutuk oleh para jenderal di masa lalu. Burung pipit terpukau dengan keindahan Samolanga dan mulai menceritakan kepada satu burung, lalu berlanjut ke burung lainnya.

“Burung Samolanga masih hidup!”

Sekelompok burung mulai terbang menuju pohon duwet di hamparan tanah perdikan tersebut, untuk memastikan “benarkah Samolanga masih hidup. Benarkah pohon duwet di tempat yang dihancurleburkan para jenderal itu masih ada”.

“Saya terhibur melihat pohon itu,” ujar seekor beo paruh baya. “Sesuatu yang baik bertahan hidup dari sesuatu yang buruk.” Angannya seakan kembali pada prahara yang pernah terjadi di masa lalu.

Sendiri. Samolanga membangun sarang dari ranting-ranting pohon maple Fez, Maroko. Melengkapinya dengan pelepah pohon kurma dari Yaman. Menghiasi dengan daun-daun musiman pohon chesnut dari Amsterdam.

Sekelompok burung gagak yang berusia lebih tua bertengger di sebuah kaktus tak berduri, tidak jauh dari pohon duwet tempat Samolanga tinggal. Mereka  berteriak-teriak mengejek Samolanga.

“Kejayaanmu sudah berakhir! Anak muda sepertimu tak akan bertahan lama di tempat seperti ini. Aku akan mencium kakimu jika riwayatmu bisa bertahan lebih dari 10 tahun.” tawa para gagak saling bersahutan membahana di udara.

***

Di dalam barak-barak para pemburu mulai dibicarakan.

Kesohoran Burung Samolanga telah diketahui oleh khalayak luas, orang-orang yang duduk di puncak-puncak kuasa, para sesepuh beruban dan berjanggut lebat dari tempat-tempat persembahyangan, para penjajah berambut pirang dengan senjata-senjata pemusnah. Mereka mulai membicarakan desas-desus kabar terbunuhnya Samolanga yang perkasa oleh segerombolan pemburu berseragam lurik.

“Ini tidak boleh terjadi!” kata tetua pemburu pada anak buahnya. “Mereka mulai membicarakan keluhuran Samolanga sekaligus mengutuk kita. Mereka mencibir kita sebagai pembalak liar, mereka melabeli kita sebagai pemburu rakus yang tidak berkompeten, menghilangkan nyawa mahluk langka dengan cara dan senjata yang berlebihan…”

“Lalu apa yang akan kita lakukan, tetua?” tanya salah seorang anggota pemburu.

“Kumpulkan para pendongeng, penulis hikayat, dan juru warta,” titah ketua pemburu pada ajudannya.

Maka setelah mereka dikumpulkan, intrik-intrik mulai disusun oleh tetua pemburu.

“Katakan dalam dongeng-dongeng kalian,” jelas ketua pemburu mengawali rencananya. “tulis dalam hikayat-hikayat  dan buku-buku panduan sejarah, wartakan dalam surat-surat kabar, serta siarkan di radio-radio, ‘aku (ketua pemburu berseragam lurik) bersama kelompok pemburu yang terampil dan berbakat, berusaha melindungi masyarakat dari hama kecil bernama Samolanga, dia bukanlah burung indah seperti yang santer dikabarkan. Dia hanyalah seperti burung-burung hama pemakan padi-padi yang tumbuh di sawah milik kita’. Kalau perlu tulis juga, ‘Samolanga bergabung bersama kelompok burung pengganggu berusaha membangun sarang di lumbung kita karena ingin mengambil hasil panen saat kita lengah’ pastikan masyarakat jijik dengan Samolanga, sekaligus merasa bersyukur karena telah  diselamatkan pemburu berseragam lurik dari bahaya burung tersebut,” pungkas ketua pemburu dengan berapi-api.

Kelompok-kelompok ‘penyambung lidah’ masyarakat ini pun menyanggupi permintaan ketua pemburu, melakukan apa yang diperintahkan dengan imbalan materi dan keamanan kehidupan mereka. Semua kata direkayasa begitu rupa, kisah-kisah disusun secara rapi dan teliti, cerita-cerita tentang buruknya Samolanga dipastikan sampai di tempat-tempat belajar, tertulis di buku-buku perpustakaan, lalu menjadi dongeng guru-guru di kelas, menjadi dongeng bagi anak-anak sebelum tidur di kamarnya.

Samolanga adalah berbahaya! Samolanga kami buat tak berdaya! Samolanga tak boleh Berjaya! Samolanga boleh dianiyaya! Samolanga mengancam panen raya! Samolanga harus dibakar sarangnya! Samolanga pantas diwaspadai gerak-geriknya!

Demikian generasi demi generasi berlalu, Samolanga terlupa dari sejarah, keindahannya hanya mitos dari orang-orang tua yang mulai pikun. Namun langit yang menyaksikan semua kejadian di bawah naungannya merekam dengan baik, menyimpan semua kejadian diantara bintang-bintang yang gemerlapan, lalu pada waktunya sedikit demi sedikit menurunkannya bersama hujan, menyisipkan kabar diantara angin, menyelipkan warta kebenaran disela-sela cahaya mentari dan bulan.

***

Kabut fitnah telah menyamarkan jejak Samolanga, hujan dusta telah mengguyur deras membasahi tempat Samolanga bersarang, angin kebohongan bertiup kencang membuat sikap dingin pada hati orang yang terhempas.

Hari-hari Samolanga tidak lepas dari keculasan, kecurangan, kemunafikan, kepalsuan ataupun kelicikan dari pendengki. Tapi memang demikianlah isi dari dunia yang ditinggali Samolanga. Dimana anak-anak bertumbuh lalu belajar berbohong tentang permen atau superman. Para remaja mengarang cerita fiktif tentang dirinya mengenai capaian-capaian yang tak pernah nyata. Orang-orang dewasa memalsukan identitas sebagai pemilik profesi ini dan itu. Para agen rahasia berbohong untuk negara. Para pemimpin negara berbohong untuk mengelabui rakyatnya. Lelaki berdusta pada perempuan demi memperoleh cintanya. Perempuan berdusta pada laki-laki demi cintanya. Tukang sulap dan tukang akting mengelabui untuk menghibur. Perekayasa gambar memalsu tampilan untuk pujian. Para panglima tempur yang pemberani menggunakan tipuan (menipu) untuk siasat. Orang-orang tua mengarang dongeng hantu dan fabel untuk anak-anak sebelum tidur.

Kebohongan dan penipuan telah melekat pada dunia seperti kerekatan kulit pada daging. Pemburu berbaju lurik menorehkan tinta sejarah yang tidak dapat terlepas dari kepalsuan. Para penindas ditahbiskan lencana pahlawan, para pahlawan dicitrakan sebagai pemberontak. Burung Samolanga disebut-sebut sebagai hama, perusak.

Kepalsuan itu disisipkan pada lembar-lembar buku, diorasikan di ruang-ruang diskusi, dinyanyikan dalam dongeng-dongeng, dipahatkan pada monumen-monumen, diperagakan dalam drama, diteriakkan ditengah konvoi karavan. Hingga tak seorangpun meyakini Samolanga adalah burung dari kahyangan.

“Lihatlah apa yang akan menimpa kematian Si Pemburu itu,” kecam Burung Samolanga penuh gemuruh amarah. “Penderitaan akan mendekapnya siang dan malam, kepedihan akan menjadi karibnya di alam ukba dan baka, setiap detik akan menjadi penyesalannya karena telah lahir ke dunia!”

Sumpah serapah bernada getir diserukan oleh Samolanga yang seumur hidupnya tak pernah berdusta, tak pernah pula mencaci ataupun memaki, tak pernah berkata dengan nada tinggi, tak pernah bercakap kecuali hal yang bermanfaat, sebelumnya tak pernah seorang pun merasa terancam dengan mulut dan sayapnya.

Tak pernah ada binatang melata yang cemas akan cengkramannya. Tak seekor serangga pun khawatir dengan paruhnya yang tajam. Samolanga hadir membawa harmoni, keserasian, keteraturan, keindahan, kedamaian, ketentraman, keelokan, atau berbagai pesona-pesona surgawi. Tapi justru karena itulah, para pemburu beramai membidiknya, tuan-tuan tanah berharap memenjarakannya dalam sangkar, burung gagak yang jahat mengusik sarangnya. Semua itu membuat seakan-akan dunia hendak melemparkan Burung Samolanga kembali ke surga.

“Ini bukanlah tempatmu!” begitu gemerisik dedaunan yang tertiup angin terdengar seperti berbisik.

“Pergilah dari taman-taman dusta, wahai kejujuran!” demikian suara air gemercik dibalik cardik.

“Biarlah pemburu  berbuat sesukanya!” terdengar seekor kuda meringkik dalam pekik.

“Biarkan cahaya menelanjangi bayang-bayang!” sayup-sayup suara dari anggrek cantik berkelopak antik.

***

Sejak zaman nenek moyang burung Samolanga, Pterosaurus—naga bersayap yang menguasai angkasa Mesozoik selama 162 juta tahun—hingga kejayaan burung albatros di Samudra Antartika dan Pasifik Utara, pemandangan dari angkasa terasa begitu sama. Semua yang ada di permukaan bumi nampak berubah dan berevolusi melalui dialektika. Melalui dialog, komunikasi, pertukaran pesan, interaksi dari satu pihak kepada pihak lainnya. Sebagian dari dialog atau interaksi tersebut berakhir pada kesepakatan, tapi sisannya berakhir dengan konflik dan pertarungan kekuatan.

Kali ini Samolanga melihat apa yang pernah dilihat oleh Pterosaurus dan burung albatros pada masa lalu. Di negeri tempat Samolanga bersarang, perubahan terjadi, kekuasaan dibentuk diatas konflik antara dirinya dengan pemburu ganas berseragam lurik, atau antara pemburu ganas berseragam lurik dengan saudara sebangsanya yang tidak kalah ganasnya bersenjatakan palu dan arit.

“Benarkah yang aku dengar ini,” seekor kelelawar tidak habis pikir dengan yang barusan didengarnya. “para tetua pemburu berseragam lurik ditangkap oleh kawanan bersenjata palu arit?” kelelawar melempar tanya pada burung-burung yang berkicauan tak jauh dari gua tempatnya bersarang.

“Benar, tubuh pemburu berseraam lurik disiksa dengan sekonyong-konyong,” sepasang lovebird menanggapi. “Kulitnya diiris, lalu pada irisan yang terbuka ditaburkan garam hingga mengenai daging yang masih berlumur darah untuk melipatgandakan rasa sakit, pipinya yang kuyub dengan keringat ketakutan yang begitu hebat disulut dengan api dari rokok.”

“Bukan hanya pipinya, matanya juga di ditusuk dengan rokok yang masih menyala-nyala,” seekor kasuwari menimpali.

“Itu karma namanya,” cerkas lovebird yang betina melengkapi siaran. “pemburu berseragam lurik memang pantas mendapatkannya, bukankah mereka juga pernah melakukan yang demikian pada burung Samolanga. Membombardir hanya demi menunjukkan betapa hebatnya kemampuan berburunya, betapa berkuasanya dirinya.”

Seekor beo yang kerap mengunjungi sarang burung Samolanga turut berkicau, “kalau kalian masih ingat, dulu burung Samolanga pernah mengutuk si pemburu berseragam lurik. Dan kali ini kutukannya telah berjalan.”

Semua yang hadir mengangguk, membenarkan kicauan beo, kembali teringat dengan kutukan, sumpah serapah yang pernah diteriakkan Samolanga sang penyabar.

“Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi,” pungkas burung beo sambil menghela nafas kelegaan karena mendapati dirinya dan karibnya dapat mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi.

Demikianlah dialektika konflik terus berlanjut. Sekawanan orang yang bersenjata palu arit diburu oleh diktaktor, diktaktor dicecar oleh sekelompok pelajar, kekuasaan berpindah-pindah dari satu kelompok kepada kelompok yang lain dalam waktu yang singkat.

Dan Samolanga… bagai perbendaharaan rahasia, ia menyaksikan setiap peristiwa di sudut keabadian yang tersimpan rapih.

User Avatar

SMAAlkahfiSML


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian